Archive for November 2013
PENDIDIKAN KARAKTER DAN POLA PIKIR
0Thursday, November 21, 2013 by zidniezou
Perubahan
kurikulum di Indonesia yang selalu terjadi hampir tiap tahunnya ini membuktikan
bahwa sistem pendidikan di Indonesia memang belum beres. Kurikulum paling awal
yang saya ketahui adalah kurikulum tahun 1994 karena saya jalani ketika masuk
SD. Pada pertengahan SMP, kurikulum pendidikan diubah dengan nama Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Perubahan paling mencolok dari kurikulum ini
adalah urutan kelas yang berlanjut yaitu SD kelas 1-6, SMP kelas 7-9, dan SMA
kelas 10-12. Nah, pertengahan SMA pun juga saya mengalami perubahan kurikulum
menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Guru saya menjelaskan
bahwa pada kurikulum 2006 ini adalah Kurikulum Terserah Sekolah Panjenengan
(Kurikulum Terserah Sekolah Anda) jadi tiap sekolah mempunyai hak untuk
merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolah nya tanpa
melupakan kiblat utama kurikulum ini. Tiap perubahan kurikulum pasti merubah
sistem pendidikannya walaupun sebenarnya saya tidak merasakan perubahan sistem
pendidikan yang mencolok.
Saya
tidak akan menghakimi para pembuat peraturan dan kurikulum pendidikan di
Indonesia yang bisa dibilang masih belum pas karena saya yakin itu pekerjaan
yang sulit. Harusnya kita mengapresiasi mereka karena perubahan kurikulum itu
justru memperlihatkan kerja nyata mereka untuk pendidikan di Indonesia yang
lebih baik. Jujur, saya baru sadar ternyata pendidikan di sekolah itu mempunyai
arti yang sangat besar bagi orang yang menyadarinya setelah saya mendapatkannya.
Saya bukan ahli sistem pendidikan, saya hanya ingin mengungkapkan keprihatinan
saya tentang pendidikan di Indonesia ini. Menyebutkan solusi permasalahan dari
masalah utama pendidikan di Indonesia pun juga saya bukanlah expert. Saya hanya ingin menyampaikan
akar permasalahan pendidikan di Indonesia dari sudut pandang saya. Masalah absolut dari pendidikan di Indonesia adalah pemerataan pendidikan. Kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau dengan demografi masyarakat dan keadaan infrastruktur serta ekonomi yang tidak merata menjadi hal penyebabnya. Solusi yang paling mungkin adalah pemerataan infrastruktur dan ekonomi terlebih dahulu. Seperti kita tahu, pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Indonesia terfokus pada pulau Jawa, meskipun begitu di pulau Jawa sendiri pendidikannya belum merata karena masih ada beberapa daerah tertinggal secara geografis maupun ekonomi. Jadi bayangkan saja bagaimana keadaan di luar pulau Jawa. Saya berharap bahwa MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) berubah menjadi SP3EI (Sistem Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) bukan lagi sekedar rencana apalagi wacana.
Baiklah (kembali ke laptop), membahas masalah utama dalam pendidikan di
Indonesia adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang apa tujuan utama
dari pendidikan. Jika mereka tidak mengetahui tujuan utamanya, bagaimana
bisa mereka melewati jalan/ arah yang benar? Mereka hanya beranggapan bahwa pendidikan
di sekolah adalah tempat untuk mencari ilmu yang digunakan sebagai bekal dalam
melanjutkan hidup yang menentukan nasib seseorang. Jadi, sebenarnya perlu
diberitahukan secara luas kepada semua masyarakat maupun semua elemen
pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional pendidikan. Jabaran
UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003.
Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Ya, itulah tujuan pendidikan nasional di Indonesia
dimana pembentukan watak/ karakter merupakan tujuan utama. Pembentukan karakter
yang disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional diatas baru akan membuka tujuan lain yaitu mencerdaskan, mengembangkan
potensi anak didiknya, dll. Pendidikan memang mengajarkan ilmu, ilmu hanya
salah satu hal yang mendorong kita untuk berpikir, bukan menjadi pintar (selain
ilmu, pengalaman hidup juga mendorong kita untuk berfikir). Ada perbedaan yang
besar antara orang yang pintar dan orang yang bisa berfikir. Cara/ pola berpikir akan menentukan
sikap, sikap akan menentukan tindakan, tindakan akan menentukan kebiasaan,
kebiasaan akan menentukan karakter dan karakter akan menentukan kinerja yang
akhirnya akan menentukan nasib. Jadi, pembentukan pola berfikir inilah yang
menjadi kunci utama suksesnya pendidikan di Indonesia yang akan masuk ke proses
selanjutnya membentuk karakter (pola pikir - sikap -
tindakan - kebiasaan - karakter). Sekali lagi, ada
perbedaan antara orang pintar dengan orang yang bisa berfikir. Itulah mengapa
ada perbedaan antara orang pintar dan orang cerdas. Orang pintar itu punya ilmu,
tapi orang cerdas punya otak untuk berfikir.
Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Programmme for International Student
Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development
(OECD) pada tahun 2012 lalu mengeluarkan survei bahwa Indonesia menduduki
peringkat paling bawah dari 65 negara dalam pemetaan kemampuan matematika,
membaca dan sains. Survei PISA-OECD ini dilakukan secara kualitatif pada tahun
2012 lalu yang baru dirilis awal pekan Desember 2013. Survei ini melibatkan
responden 510 ribu pelajar berusia 15-16
tahun dari 65 negara dunia yang mewakili populasi 28 juta siswa berusia
15-16 tahun di dunia serta 80 persen ekonomi global.
Kita
bisa lihat bahwa para remaja tersebut yang sedang menginjak masa peralihan
menuju usia kedewasaan, seharusnya sudah mempunyai karakter yang bagus. Mereka bukanlah
tidak pintar, but they have no good
character. Coba bayangkan, sekitar 10 tahun sudah mereka menuntut ilmu dari
SD pasti pengalaman menuntut ilmu mereka sudah cukup lama namun ternyata kemampuan
mereka masih buruk. Makanya, ilmu tidak akan berguna tanpa karakter. Pendidikan itu untuk membentuk pola pikir yang bisa membentuk karakter, bukan hanya untuk nyari pengetahuan saja karena pengetahuan bisa didapat dimana saja. Pendidikan itu bukan buat cari gelar buat modal nyari kerjaan. Inilah kelemahan
utama sistem pendidikan di Indonesia yang lebih fokus untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa tanpa mengembangkan kemampuan dan membentuk watak/ karakter. Padahal
tujuan utama pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak/ karakter, sehingga dengan tujuan utama yang tercapai terlebih dahulu
baru akan membuka jalan bagi tujuan selanjutnya. Ilmu itu sebenarnya adalah sebuah
konsep yang harus dipahami, bukan rangkaian kalimat yang harus dihafalkan/
diingat. Pemahaman konsep bisa dilakukan dengan pembelajaran studi kasus,
praktikum, atau studi lapangan.
“ILMU ITU BISA LUPA KAPAN SAJA, TETAPI KARAKTER AKAN
DIBAWA SAMPAI MATI. TETAPI, ILMU DISERTAI DENGAN KARAKTER YANG BAIK AKAN
MENGHASILKAN KOMBINASI YANG MENAKJUBKAN.”
Yap,
pendidikan di sekolah formal itu sebenarnya bisa membentuk karakter dan
sistematika berpikir. Kalau ilmu itu bisa didapatkan dimana saja bagi yang mau
mencari dan menyadari keberadaan ilmu yang didapat dari pengalaman/ autodidak. Ilmu
itu bisa lupa kapan saja kalau tidak dibagikan. Peraturan-peraturan (misalnya
jadwal sekolah, seragam, dll) yang diterapkan di sekolah digunakan untuk
membatasi tingkah laku muridnya sehingga mereka menyadari kedudukan dirinya
sebagai warga negara, hamba tuhan, maupun anggota suku adat tertentu yang
tingkah lakunya dibatasi oleh peraturan . Dari peraturan ini bisa dilihat
bagaimana seorang murid merespon peraturan itu apakah menjadi murid yang taat
atau sering melanggar. Hal ini akan menjadi refleksi bagaimana mereka merespon
peraturan hukum negara, peraturan agama, maupun adat istiadat mereka. Jadi, ini
memberikan pelajaran tentang bagaimana kita merespon/ bereaksi terhadap apa
yang terjadi pada kita. Itulah yang dinamakan dengan karakter.
Neokolonialisme
merupakan salah satu ranjau utama permasalahan pendidikan di Indonesia.
Berkembangnya penggunaan internet justru juga menjadi jalan mudah dalam
terjadinya Neokolonialisme. Apalagi, pertumbuhan generasi Y yang dominan sebagai
generasi produktif di Indonesia yang mengutamakan pleasure-oriented menjadi sasaran empuk Neokolonilisme. Selain Neokolonialisme,
sosok inspirasi manusia cerdas dan berkarakter di Indonesia masih sedikit,
bahkan jarang diekspos. Kita terlalu sering melihat orang-orang alay dan stress
di TV dibandingkan dengan sosok inspirator. Hal ini adalah salah satu hal yang
berpengaruh besar terhadap pendidikan karakter di Indonesia. Selain itu, terlalu
banyak berita negatif yang disiarkan justru membuat orang-orang berpotensi bagus
semakin pesimis dengan kondisi bangsa dan merasa tidak sanggup untuk membuat
perubahan yang lebih baik.
Sebagai
kesimpulan, bagi saya untuk menciptakan sistem pendidikan nasional yang
seimbang maka perlu adanya sinergi antara semua pihak yang membentuk sistem
pendidikan itu sendiri yaitu individu/ siswa sebagai aktor utama, orangtua,
guru, pemerintah, sarana dan prasarana, kondisi negara (ekonomi, sosial,
geografis, kesehatan, dll), dan kurikulum itu sendiri. Selain itu, perlu adanya
penyisipan pendidikan karakter yang lebih sering dalam proses belajar mengajar
di kelas serta sistem pembelajaran yang tidak textbook-oriented atau fokus pada
buku, melainkan menambah pembelajaran studi kasus, praktikum, dan studi
lapangan yang cukup. Terakhir, peran keluarga sangat berperan penting dalam pendidikan. Sayangnya, kebanyakan keluarga di Indonesia berpikiran bahwa tugas utama dalam pendidikan anak adalah peran sekolah. Para orang tua ini mencari sekolah terbaik untuk anaknya dan memfasilitasi segala keperluan sekolahnya hingga padatnya jadwal kursus akademik maupun non akademik. Para orang tua terkadang hanya meminta hasil laporan belajar, tanpa mendampingi dan memberi arahan anaknya dalam menjalani proses pendidikan. Padahal, peran utama pendidikan seharusnya dilakukan di rumah sebagai lingkungan sosial pertama seorang anak dalam hidup. Pendidikan harus dimulai dengan kasih sayang dan memberi teladan. "Like Father Like Son," itulah kalimat yang saya yakini sebagai modal utama pendidikan. Pokoknya, lingkungan keluarga harus menjadi tempat pendidikan utama, baik dalam memberikan contoh tata krama maupun membantu anak dalam mempelajari materi sekolah.
Category Campus Life, Motivation, Thought
IDEALISME MAHASISWA
0by zidniezou
Suatu
hari, saya melakukan perbincangan dengan topik yang cukup menggigit dengan
teman sambil melakukan diskusi tugas ergonomi (sekitar awal tahun ketiga
kuliah, saya masih polos waktu itu haha). Salah satu teman saya ini memang
terbilang unik karena masih bercita-cita menjadi ‘orang nomor satu’ di negeri
ini alias jadi Presiden. Di saat teman-teman seangkatan mempunyai cita-cita
atau karir di bidang bisnis atau industri, ternyata masih ada juga yang kekeuh
menjadi seorang presiden. Cita-cita dia memang terbilang konsisten, kalau gak
salah dari SMA sampai postingan ini dibuat, cita-cita teman saya ini tetap jadi
Presiden. Berbeda dengan saya yang masih berganti-ganti cita-cita karir nanti. Saya
pikir cita-cita menjadi seorang presiden itu cuma cita-cita anak kecil yang
masih polos. Bukan bermaksud menghina, namun memang jarang sekarang ini orang
yang saya temui mempunyai cita-cita menjadi seorang presiden karena di negara
ini hanya ada satu posisi untuk menjadi presiden dengan tingkat perpindahan
masa kerja yang cukup lama yaitu 5 tahun. Mungkin karena pergaulan saya yang
cukup sempit ya, jadi hanya sedikit tahu seorang mahasiswa yang bercita-cita
menjadi presiden. Bahkan menurut saya, para presiden kita dari Ir. Soekarno
hingga Pak SBY sepertinya mereka tidak ada yang mempunyai cita-cita menjadi
presiden. Hanya saja, posisi mereka sebelum menjadi presiden membuat mereka
berkeinginan/ didorong menjadi presiden.
Lalu,
saya memulai sebuah pertanyaan yang memberikan jawaban yang panjang sekali.
Setidaknya saya jadi sedikit tahu tentang sedikit rahasia politik Indonesia dan
Jakarta haha (namanya juga rahasia, gak mungkin saya certain lah).
Pertanyaannya simple: “Emang lu udah
punya cara-cara mencapai tujuan lu jadi Presiden.” Ya tentu saja dia memberikan
sebuah jawaban yang membuat orang seperti saya yang tidak terlalu tahu tentang
politik menjadi heran, walaupun tidak menceritakan dengan detail tapi dia sudah
tahu cara mewujudkannya walaupun (lagi) saya gak tahu apakah itu bisa
terealisasikan nanti atau tidak. Saya juga gak tahu apakah langkah-langkah yang
dia sebutkan tadi benar-benar bisa mengarahkan tujuannya atau hanya bualan saja karena dia emang jago
‘ngemeng’ (wallahu a’lam).
Pertanyaan
kedua ini yang mau saya bahas dalam posting kali ini: “Kenapa lu gak
ikut-ikutan demo kaya BEM gitu, kan gerakan pemuda kaya pendemo mahasiswa pas
waktu peristiwa Mei 1998 setidaknya sebagai langkah konkrit awal, kan selama
ini lu cuma ‘ngemeng’ doank gak tahu bener ato gak tentang cara-cara lu mau
jadi Presiden yang udah di rancang, setidaknya lu tahu politik dan masalah
negara.” Nah jawabannya dia ini yang memberikan saya semacam kesadaran diri
tentang idealisme mahasiswa yang banyak sekali diperbincangkan orang.
(kata-katanya sih gak sama persis, tapi setidaknya satu ide pokok)
“Para
pendemo mahasiswa itu hanyalah sebuah idealisme (kita juga pasti udah tahu) seseorang
anak muda yang belum mempunyai beban di pundaknya. Tidak seperti sekarang,
pemerintahan dulu berjalan secara otoriter sebelum tahun 1998 sehingga sekolah/
kuliah pun menjadi beban bagi mereka karena takut di DO/ Dropout sehingga (mungkin) bisa mengecewakan orangtua. Sekarang kan
kalau tahu-tahu mereka di DO bisa mengajukan perlindungan hukum (tapi bagaimana
demonya dulu ya, kalau merusak/ bikin ricuh kan tetap dihukum sesuai
Perundang-Undangan. Kalau hanya demo untuk menyampaikan aspirasi boleh-boleh
saja). Lanjut, coba saja kita lihat kalau mereka sudah lulus, sudah punya
tanggungan/ beban (istri, anak, harta, dll). Masih mau ikut demo? (apapun
bentuknya). Mereka pasti main aman. Takut posisinya terancam, takut dipecat,
takut diteror, takut dengan segala sesuatu yang mungkin membahayakan keluarga,
jabatan, hata, dll. Coba saja lihat para pejuang mahasiswa waktu peristiwa Mei
1998 ada Anas Urbaningrum dkk yang sekarang malah dia (red: Anas) sedang
didakwa terkait kasus korupsi. Jadi, saya gak ikutan demo karena pastinya berbeda
pandangan dengan pendemo mahasiswa lain. Mereka demo cuma sekarang pas jadi
mahasiswa. Kalau mereka sudah bekerja/ karir mereka lalu cari aman atau malah
lebih parah daripada orang-orang yang mereka demo. Idealisme yang tidak kekal.”
Wah
kalo saya pikir, memang benar juga menurut dia. Ya itulah idealisme. Jawaban
ini justru membuat saya yang masih udik ini mempunyai gambaran masa depan.
Sebisa mungkin kita harus berpikir visioner (melihat ke depan) apalagi mengenai
cita-cita. Tidak hanya meraih cita-cita namun juga membawa misi untu kebaikan
orang banyak. Berpikir strategis yaitu merencanakan sesuatu dalam jangka
panjang. Kita harus mulai mempunyai idealisme yang bertahan jangka panjang
juga. Yang saya punya saat ini mungkin bukan sekedar idealisme, namun sebuah
keyakinan. Saya tidak sepenuhnya setuju atau tidak setuju dengan demo
mahasiswa. Saya hanya setuju atau tidak setuju dengan hal yang diperjuangkan. Kalau
itu bagus menurut analisis pemikiran saya maka saya setuju, begitu juga
sebaliknya.
Kita
tahu bahwa mahasiswa itu mempunyai tiga peran utama: Agent of Change, Iron Stock,
dan Social Control. Sebagai agent of change, mahasiswa adalah
intelektual muda yang diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik lagi dengan
memanfaatkan kekayaan bangsa dan daya pikir yang tajam dan kritis. Mahasiswa
adalah bagian dari masyarakat yang masih muda yang akan menggantikan suatu
kepemimpinan yang habis masanya yang selalu mengisi dari generasi ke generasi
sehingga disebut Iron Stock.
Mahasiswa yang kritis dan peka terhadap lingkungan selalu tanggap dan sadar
apabila terjadi gejolak dan perubahan dalam masyarakat untuk menjaga kestabilan
sosial karena nantinya mahasiswa akan terjun ke masyarakat sehingga harus peka
terhadap keadaan mereka (social control).
Ya,
memang jika saya lihat ketiga peran utama tersebut agak redup dari mahasiswa
sendiri. Meskipun masih ada beberapa yang melakukannya, hanya sedikit saja yang
mau beraksi untuk berkontribusi, tidak tahu apakah itu akan konsisten atau
tidak. Saya pun merasa demikian, terkadang merasa sendirian dan tidak punya
nyali untuk melakukan perubahan. Perubahan yang saya lakukan adalah perubahan
idealisme yang dulunya sangat ambisius hingga akhirnya berubah seperti situasi normal
pada umumnya: lahir – sekolah – lulus – kerja – berumah tangga – mempunyai anak
– dst tanpa menyisipkan kata sejarah/ perubahan yang berarti besar untuk banyak
orang. Saya yakin sebenarnya banyak orang yang ingin melakukannya: BREAK THE
RULE. Sebenarnya ada salah satu hal yang bisa menimbulkan kesadaran ini yaitu
bahwa semua yang ada di dunia ini tidaklah kekal sehingga tidak perlu khawatir.
Segala tanggungan seperti orang tua, istri, anak, harta, jabatan, dll
seharusnya kita serahkan kepada Tuhan Sang Pelindung alam semesta. Yang
diperlukan adalah keyakinan dan percaya pada diri sendiri dan juga kepada Tuhan
sebagai tempat berlindung memohon pertolongan dan tempat kembali.
Category Campus Life, Motivation, Thought
Powered by Blogger.