SHOPPING ON BUDGET
0Monday, July 14, 2014 by zidniezou
This
hormone is just killing me. Ya, as a tweenager, when the testosterone is
growing up, saya lagi care
banget dengan penampilan. Apalagi saya emang sedikit OCD (Obsessive Compulsory Dissorder) dimana
saya gak suka banget sama hal yang berantakan. Kalo ada sesuatu yang
berantakan, apapun itu harus saya beresin biar rapi (walaupun gak semua kasus
begini haha). Jadi untuk masalah penampilan juga saya gak mau berantakan,
walaupun untuk masalah penampilan ini gejalanya baru terasa ketika menginjak
umur 21 tahun dimana saya lagi seneng banget belanja grooming product dan belanja pakaian. Apalagi pas umur-umur segini
saya lagi kuliah di sekitar Jakarta dimana perkembangan pasar industri selalu
berawal dari sini. Ya awalnya emang uncontrolled,
masih kecil masih suka ketipu iklan.
Experience is the best teacher, ya emang tapi ini cuma buat orang yang menyadarinya karena terkadang banyak juga yang ga bisa mendapat apa-apa dari pengalaman (apalagi kegagalan) bisanya cuma nyetatus ga penting (red: mengeluh). Untungnya sih saya adalah anak kampung yang belum tau tentang merek, cuma tau baju murah dan bagus, sampe terbenam dalam benak diri kalo mau belanja apapun (makanan, pakaian, elektronik, dll) pasti milih yang murah. Kalau mau beli barang juga saya biasa pergi ke ITC Cempaka Mas, bersama Ibu-Ibu (red: ortu, tante, dan kakak). Dan, lebih untung lagi bahwa saya mulai tahu merek high-street fashion dan merek desainer ketika saya udah merasa memiliki pemikiran mental yang bagus di usia 20an, jadi gak bakalan beli suatu produk kecuali dibawah budget, ceritanya udah bisa mengendalikan diri dalam bertidak harus dipikirkan terlebih dahulu. Kalo adik sepupu saya yang tinggal di Jakarta udah melek fashion pas SMP jadi emang mereka mentingin ego punya barang branded, walaupun secara fisik udah gede tapi usia mentalnya belum. Baju termahal yang saya punya sampai saat ini adalah batik NAIL seharga Rp 400ribu gak tahu kenapa ini bisa kebeli. Sepatu pun juga buatan Cibaduyut dan itu pun hadiah kelulusan kuliah seharga Rp 600ribu karena authentic cow leather. Kalau tas, saya beli PSD bagpack seharga Rp 400ribu.
Experience is the best teacher, ya emang tapi ini cuma buat orang yang menyadarinya karena terkadang banyak juga yang ga bisa mendapat apa-apa dari pengalaman (apalagi kegagalan) bisanya cuma nyetatus ga penting (red: mengeluh). Untungnya sih saya adalah anak kampung yang belum tau tentang merek, cuma tau baju murah dan bagus, sampe terbenam dalam benak diri kalo mau belanja apapun (makanan, pakaian, elektronik, dll) pasti milih yang murah. Kalau mau beli barang juga saya biasa pergi ke ITC Cempaka Mas, bersama Ibu-Ibu (red: ortu, tante, dan kakak). Dan, lebih untung lagi bahwa saya mulai tahu merek high-street fashion dan merek desainer ketika saya udah merasa memiliki pemikiran mental yang bagus di usia 20an, jadi gak bakalan beli suatu produk kecuali dibawah budget, ceritanya udah bisa mengendalikan diri dalam bertidak harus dipikirkan terlebih dahulu. Kalo adik sepupu saya yang tinggal di Jakarta udah melek fashion pas SMP jadi emang mereka mentingin ego punya barang branded, walaupun secara fisik udah gede tapi usia mentalnya belum. Baju termahal yang saya punya sampai saat ini adalah batik NAIL seharga Rp 400ribu gak tahu kenapa ini bisa kebeli. Sepatu pun juga buatan Cibaduyut dan itu pun hadiah kelulusan kuliah seharga Rp 600ribu karena authentic cow leather. Kalau tas, saya beli PSD bagpack seharga Rp 400ribu.
Baik, kembali ke topik. Sebenarnya barang branded itu udah punya target
konsumen yang high class cuma
terkadang ada niche market atau orang
yang bukan target konsumen yang membeli barang itu. Ya memang kalau saya lihat
barang-barang branded itu selain sebuah karya seni yang berkualitas juga kita
pasti akan mempunyai kenikmatan tersendiri jika memilikinya. Apalagi kan
orang-orang sekarang terutama di perkotaan cenderung menganut paham hedonisme,
jadi ya mereka mengaktualisasikan diri mereka (salah satunya) dengan memakai
barang-barang branded, baik itu high-street
fashion semacam H&M, Zara, Mango, Next, Uniqlo, GAP, Pull&Bear, dll
maupun memakai barang-barang desainer seperti Marc Jacobs, Miu Miu, Armani
Exchange, Calvin Klein, dll sampai luxury
product seperti Louis Vuiton, Hermes, Gucci, Versace, Givenchy, dll. Merek high-street biasanya berharga sekitar Rp
300ribu sampai Rp 1 juta-an, ya mungkin lebih sedikit tapi ga nyampe 2 juta.
Merek desainer juga harganya masih dibawah Rp 10 juta-an sedangkan dari luxury brand harganya bisa sampe ratusan
juta rupiah. Saya sih emang ga pernah beli, Cuma tertarik aja dengan namanya
ilmu Brand Management jadi saya
pelajarin semua merek ini kenapa harganya bisa mahal (lihat posting saya
sebelumnya tentang Branded Brand’s Secret
di http://zidniezou.blogspot.com/2014/03/branded-brand-secrets.html)
Ketertarikan saya pada fashion justru muncul ketika mengunjungi pagelaran
tahunan Jakcloth Festival End Sale 2012 yang biasanya diadakan di lapangan
Senayan. Nah, dari ketiga segmentasi pasar fashion tadi, ada satu kategori lagi
yaitu brand lokal yang harganya rata-rata di bawah Rp 300ribu saja. Yap, akhirnya
tahu juga produk fashion yang pas sama kantong dan ternyata produk brand lokal
Indonesia itu gak kalah loh kualitasnya dengan produk dari brand luar. Apalagi
harganya jauh lebih murah. Masalahnya cuma satu, kita gampang terpengaruh sama
trend luar, terlihat dengan promosi brand luar yang terlihat sophisticated padahal juga pemilik brand
lokal selalu memberikan sentuhan trend luar negeri, ya dengan menyesuaikan ciri
khas lokal juga. Kalau saya lihat dari kualitas produknya malahan sedikit lebih
bagus brand lokal, karena untuk brand internasional terutama yang high-street fashion selalu melakukan
meminimalisasi biaya/ cost-reduction produksi
yang biasanya berpengaruh pada bahan yang dipakai. Saya sering melakukan window
shopping di Grand Indonesia dan Plaza Indonesia, namun lebih pada mempelajari
mereknya bukan membelinya karena ga kuat lihat price-tagnya. Dari pengalaman ini juga saya bisa mengambil sedikit
tips untuk bisa mengendalikan diri dalam membelanjakan uang untuk barang yang out of budget. Ternyata niat awal yang
cuma belajar brand management jadi
bisa punya tips hemat belanja. Ini bukan tips untuk kaum jetzet (alangkah
baiknya kalau kaum jetzet juga hemat haha), ini tips buat orang biasa yang
terkadang membeli barang-barang mahal karena kurang bisa mengendalikan diri.
- Tentukan budget
Ini adalah point utama
sebelum membeli sesuatu, terkadang kita kurang bisa mengendalikan emosi untuk
tidak membeli barang bagus yang diluar budget. Ini yang membedakan antara smart consumer dengan yang tidak.
Masalah utama rumah tangga di Indonesia adalah masalah finansial, salah satunya
ga bisa membuat budget belanja. Sewaktu kuliah, saya biasa mendapat uang saku
Rp 2 juta untuk bayar kost, biaya makan, biaya buku/fotokopi, belanja
kebutuhan, dan sedikit budget untuk membeli barang. Budget saya dalam membeli
barang pada saat itu adalah 10% dari uang saku yaitu Rp 200ribu itupun
terkadang dikumpulin dari beberapa bulan baru kemudian belanja di toko
langganan. Itu adalah harga barang paling tinggi yang mau saya beli. Mungkin
terlihat sedikit, tapi kalau kita smart
dan lucky pasti kita bisa dapat
barang bagus. Sebagian besar saya berbelanja brand lokal secara online maupun
belanja di daerah Jalan Riau-Bandung yang terjangkau dan bagus. Beberapa merek
lokal favorit saya adalah Petersaysdenim (PSD), House of Smith, DeadSeventies
(DSVS), Label Eight,Dazzle&Angel, ProShop, Skaters, Airplane Systm, dan
masih banyak lagi.
- Pikirkan barang substitusi apa yang bisa didapat dari uang yang dikeluarkan
Nah, ini adalah hal
yang harus diingat-ingat ketika anda sedang “kepincut” banget sama sebuah
barang yang out of budget sampe2 lagi antri di kasir. Misalnya, sebuah contoh
yang ekstrem ketika kamu kepincut dengan Leather Steam-Bag Louis Vuitton
original seharga Rp 18 juta maka Anda pasti bisa membayangkan bisa membeli
seekor sapi besar dan gemuk dengan uang sebesar itu dan bisa Anda berikan ke
panitia Kurban haha. Contoh lain adalah ketika kepincut dengan Sneaker Gucci
senilai Rp 9 juta, mungkin kamu bisa pergi ke Bali maupun Singapura diatas
fasilitas ekonomi. Atau mungkin kepincut dengan Sling Bag Zara seharga 1,2 juta
dengan uang segitu kita bisa belanja puas di acara JakCloth.
- Ketersediaan barang: eksklusif, limited edition, atau made to stock
Perlu diteliti apakah
barang yang dijual didesain secara eksklusif dan tidak ada barang lain sejenis.
Barang jenis ini memang biasanya harganya sangat mahal dibanding yang limited
edition yang tersedia dengan jumlah tertentu dan di tempat tertentu, sedangkan
barang MTS (Make to Stock) biasanya
diproduksi secara masal.
- Mengetahui kapan brand anniversary
Hampir semua brand yang
sedang mengadakan anniversary
biasanya melakukan diskon besar-besar ibarat melakukan sebuah pesta
diskon. Minimal kita bisa mendapatkan
diskon 50% - 80%. Diskon berlaku untuk semua produk baik new arrival maupun
produk sisa. Produk high-street fashion
yang saya punya adalah Uniqlo, itupun chino
pants dan kaos kakinya saja krena pada awal launching di Jakarta beberapa
tahun lalu, Uniqlo menjual chino pants-nya
seharga Rp 150ribu yang sesuai dengan budget. Saya pun membeli sampai 4 buah
karena chino pants produk lokal pun sebenarnya lumayan mahal diatas Rp 250ribu.
Adapun produk kaos kaki Uniqlo emang unik dan terjangkau, kemudian juga belum
ada brand lokal yang menjual kaos kaki yang bagus dan murah.
- Menunggu momen-momen diskon: akhir tahun, petengahan tahun
Ini biasanya adalah
moment yang paling ditunggu bagi penggila belanja. Diskon seperti ini biasanya juga merupakan
kerjasama pemerintah dan juga asosiasi pengusaha. Namun, yang perlu diperhatikan adalah
kebiasaan kita membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan, tetapi sayang
kalau tidak dibeli karena harganya yang murah. Nah, disinilah bahayanya diskon.
Biasanya saya membawa uang tunai ketika momen diskon ini karena jika bayar
menggunakan kartu debit apalagi kartu kredit maka bisa menimbulkan uncontrolled expenses.
- Membeli barang sisa edisi
Yap, ini tergantung
lagi dengan karakter orangnya. Kalau saya membeli barang yang sesuai dengan
selera saya, jarang mengikuti trend. Kalau itu bagus dan on budget maka saya beli. Terkadang barang yang sedang nge-trend
juga gak “gue banget “jadi ga mungkin saya beli. Nah, kelemahan barang sisa
edisi (misalnya dari stok tahun lalu) adalah ukuran yang tidak lengkap.
Terkadang saya perlu “ngakalin” dengan beli size yang lebih besar dan
mengecilkannya di tukang jahit. Waktu itu saya pergi ke CENTRO Margo City untuk
membeli baju koko pada bulan puasa. Barang yang saya sukai seharga Rp 400ribu.
Ya, memang ini baju koko edisi lebaran pastinya harganya mahal kalo dibeli pas
bulan puasa. Karena di luar budget, saya memutuskan tidak membelinya. Nah, satu
bulan setelah lebaran, saya datang lagi ke CENTRO Margo City yang sedang
menggelar diskon sisa edisi lebaran dan untung sekali baju koko yang saya sukai
masih ada dan diskon 75% turun harga menjad Rp 100ribu. Nah, kesabaran dan
pengendalian diri ternyata ada harganya.
- Beralih ke brand lokal yang lebih murah
Kalau
kita tidak terpengaruh dengan merek luar, maka merek lokal bisa menjadi
alternatif yang ga kalah bagus koq. Saya rekomendasikan sekali datang ke acara
JakCloth di Parkir Senayan biasanya pas akhir tahun dan awal tahun. Disini
pastinya semua stand memberikan diskon dan pastinya ada koleksi untuk pria dan
wanita. Kebanyakan memang produk casual street
fashion, jadi jangan harap membeli office
wear disini haha (kecuali anda pekerja swasta yang bebas berpakaian ketika
ke kantor). Beberapa mall besar seperti Grand Indonesia, Senayan City, Mall
Kelapa Gading, dan Gandaria City juga biasanya menggelar pameran untuk merk
lokal sebagai sarana pemasaran mereka.
- Membeli barang premium
Sekarang ini memang
banyak sekali barang tiruan yang dijual di pasar sebagai opportunity yang lumayan menjanjikan untuk pengusaha ritel nakal.
Produk premium atau mirror merupakan produk yang 99% mirip dengan produk
original, hanya ini dibuat oleh pabrik yang tidak resmi dari suatu brand. Harga
barang premium biasanya 10% – 20% dari harga asli. Misalnya tas kulit buaya
dari Gucci seharga Rp 20 juta dijual dengan harga Rp 2-4juta untuk produk
tiruan dengan bahan dari kulit buaya asli dan bentuk yang 99% sama. Saya tidak
merekomendasikan hal ini, namun sudah terlalu umum walaupun ,melanggar etika
bisnis. Perlu anda tahu bahwa tas Louis Vuitton yang ada di dunia ini hanya 1%
yang asli karena sisanya adalah produk tiruan, hal ini pernah diungkapkan oleh
manajemen LVMH yang merupakan perusahaan pemilik brand Louis Vuitton.
- Hindari jalan2 ke Mall/ kawasan belanja
Yang namanya mall/
pusat perbelanjaan pasti ada-ada aja yang dibeli ketika kita mengunjunginya
walaupun itu hanyalah sebotol minuman. Namun itu tergantung niat, seperti saya
yang pergi ke Grand Indonesia dan Plaza Indonesia untuk sekedar belajar Brand Management merek-merek disana.
Lebih baik kita mengunjungi taman hiburan, museum, atau tempat edukasi lainnya
daripada tempat yang menumbuhkan perilaku konsumtif.
- Meminta info promo, diskon, dll (membuat membership)
Kalau anda mempunyai
toko langganan favorit, saya anjurkan untuk membuat kartu membernya. Biasanya kita
akan dihubung by e-mail kalau ada info
tertentu seperti produk baru, flash sale,
dll. Karena langganan, biasanya saya tahu Store
Manager-nya dan memintanya untuk menghubungi saya kalau sedang ada promo.
Ya, lumayan kalau ada diskon di toko langganan.
- Menahan beberapa waktu untuk tidak membeli
Tahan minimal 1 hari
ketika anda kepincut dengan barang yang lumayan mahal karena biasanya itu hanya
emosi sesaat yang biasanya akan timbul penyesalan sesudah membelinya. Coba alihkan
pikiran anda ketika ingin sekali membeli sesuatu.
- Membeli barang di online shop
Sekarang ini, online shop memang menjadi alternatif
bagi pedagang untuk menjual produknya. Online
shop juga membuat kita tidak perlu pergi ke pusat perbelanjaan. Untuk online shop besar seperti Zalora,
Lazada, LocalBrandID, dll biasanya menggelar diskon tiap hari untuk menggaet
banyak konsumen yang suka produk murah seperti saya. Namun kelemahan utama dari
online shop adalah barang yang kita
terima terkadang tidak seperti pada katalog yang ada di gambar web. Saya pernah
mendapatkan sepatu loafers seharga Rp 187.000 setelah diskon 60% yang
berlangsung 7 hari saja dan itupun gratis ongkir karena berada di Jabodetabek .
yang paling enak dari membeli barang di online shop adalah kita bisa
mengurutkan produk dari harga terendah maupun menentukan opsi rentang harga
produk yang sesuai dengan budget.
Ya,
akhirnya saya ingin memberikan tips pamungkas yaitu bahwa marketing itu
menunjukkan karakter seseorang. Yang namanya marketing pasti tujuan utamanya
menarik seseorang untuk membeli. Jadi, tergantung mental dan karakter seseorang
apakah mudah terpengaruh atau tidak. Hal ini menunjukkan tingkat kedewasaan,
pengendalian, dan pendidikan. Dan, mahal tidaknya penampilan seseorang dilihat
dari kepercayaan dirinya ketika berjalan, bukan harga barang yang dipakai. Siapa
bilang penampilan kita tidak terlihat edgy
jika memakai produk murah? Harga itu menunjukan persepsi, bukan kualitas.
Category Motivation, Thought
Powered by Blogger.