Selamat Tinggal, Oma...
0Tuesday, February 26, 2013 by zidniezou
Pagi ini, udara
terasa sangat dingin karena tadi malam hujan deras melanda kota nan sejuk ini.
Seorang nenek tua sedang asik duduk melamun di teras rumahnya sambil memandangi
jalan raya yang tepat berada di depan rumahnya. Terkadang kendaraan yang
melintas menyadarkan lamunannya itu. Sang nenek sedang gundah karena sang suami
sedang jatuh sakit yang sudah dialami 3 hari. Sang kakek mulai sakit setelah
jimat yang ada di tubuhnya diambil. Maklum saja, orang jaman dulu terutama
pejuang seperti kakek biasa memakai ini supaya diberi keselamatan dalam perang
melawan penjajah, antara mitos atau bukan tetapi jimat itu membuat kakek tetap
bertahan hidup sampai usianya sekarang 99 tahun hampir seabad. Jimat yang baru
saja diambil dari tubuh sang kakek sudah dibuang ke sungai, padahal kalau
dijual harganya mencapai ratusan juta karena jimat itu berupa berlian yang
sangat berkilau, apalagi dapat memberikan umur panjang kalau ditanam di tubuh.
Memang bagi orang yang mengutamakan keuntungan pasti menginginkan jimat ini
dijual. Namun demi kebaikan keluarga maka jimat ini dibuang saja sesuai
perintah nenek. Putra-putri nenek pun memahaminya walaupun apabila dijual
mungkin uang warisan mereka bisa lebih banyak.
Sesekali, nenek
terbayang dengan anak sulungnya, Adi, yang sudah lama tidak berjumpa, apalagi dengan
anak-anak si sulung. Putra sulung nenek ini sudah 7 tahun tidak bertemu karena
ada semacam konflik dengan istrinya yang merupakan orang Medan berpaham
Matrilinial yaitu garis keturunan berdasar ibu. Terpikir juga sang nenek dengan
putra keduanya, Didi, yang sakit-sakitan
karena kebiasaan buruknya sendiri. Terlintas juga konflik antara anaknya Anah
dan Mudi yang tak terselesaikan juga mengenai harta waris.
Tiba-tiba Tya,
cucu perempuannya, menemui nenek utuk meminta menjepitkan pita ke rambutnya,
seperti biasanya sebelum Tya berangkat sekolah selalu begitu. Tya merupakan
anak Isti, putri terakhir nenek yang sudah 6 tahun mejadi TKW di Hongkong. Isti
menitipkan Tya kepada ibunya sejak Tya berusia dua tahun. Tya sendiri kadang
tak tahu ibunya, hanya saja nenek selalu memberitahu keberadaan ibunya itu.
Setelah Tya meninggalkan
nenek untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Setelah beberapa saat, nenek
melamun kembali dan teringat dengan putranya Ahmad yang sekarang tinggal di
Tegal. Kalau bisa dibilang, Ahmad merupakan anak nenek yang paling berbakti
namun keberadaannya yang jauh dengan nenek membuatnya tidak bisa selalu bersama
nenek. Setiap hampir sebulan sekali anak nenek selalu berkumpul terutama
membahas masalah harta waris mereka. Tapi seperti biasa, putra sulung Nenek
tidak datang begitu juga dengan Isti yang berada di Hongkong.
Seminggu pun
berlalu sejak jimat kakek dikeluarkan. Pagi ini rumah nenek terasa ramai karena keadaan kakek yang sekarat
karena sudah dimakan usia. Para kerabat dekat datang mengunjungi rumah karena
menurut kabar dari Nanang, cucu tertua nenek, keadaan kakek sudah kritis. Nenek
pun tak kuasa terharu melihat kakek yang terbaring lemah. Sampai akhirnya
Innalillahi wainna ilaihi rojiuun, kakek menghembuskan nafas terakhirnya.
Antara lega karena kakek bisa lepas dari penderitannya ataukah harus bersedih
karena telah ditinggal pergi telah
bercampur jadi satu. Namun keputusan untuk mengambil jimat di tubuh kakek
merupakan pertanda kalau kematian untuk kakek adalah hal terbaik.
Adi pun yang
sudah 6 tahun tidak bertemu akhirnya pulang ke rumah, namun istri beserta
anaknya tidak datang. Tidak semua anak nenek datang karena Isti masih berada di
Hongkong. Walaupun nenek merasa sedih karena kekek telah tiada dan Isti tidak
ikut berkumpul, nenek tetap bahagia tak terkira bertemu dengan anak sulungnya.
Kedatangan Adi memang menutup kerinduan nenek, tetapi ternyata Adi hanya bisa
berada disana selama sehari karena pekerjaan yang harus dia lakukan di Jakarta.
Keadaan anak-anak nenek setelah kematian kakek semakin parah, mulai dari
perseteruan tentang harta warisan hingga keadaan Didi yang semakin parah dengan
penyakit diabetesnya. Semua keadaan ini membuat nenek yang sudah tua semakin tidak
berdaya. Seakan-akan nenek yang merindukan masa tua yang tentram melihat
kesuksesan anak-anaknya justru harus pahit karena keadaan sesungguhnya yang
berkebalikan.
Setelah tahun
lalu ditinggal pergi oleh Kakek, salah seorang yang dicintainya, kemudian nenek
harus kehilangan salah satu putranya, Didi. Kondisi Didi yang semakin memburuk
karena penyakitnya ini membuat Didi tak kuasa lagi melawan penyakitnya itu.
Untuk mengobati rasa sedih nenek, Ahmad mengajaknya tinggal di rumah Ahmad
selama beberapa minggu dengan maksud agar Ahmad bisa membujuk nenek agar mau
menikmati hari tuanya dengan dia.
Ahmad merupakan
seorang karyawan kantor yang bekerja dari pagi hingga sore, sedangkan istrinya
bekerja sebagai bendahara salah satu lembaga di desanya. Kesibukan keduanya
membuat nenek merasa kesepian. Adapun putri sulung Ahmad masih kuliah di
Semarang dan putra bungsunya masih SMA. Karena rumah Ahmad yang jauh dari rumah
nenek membuat nenek kurang betah tinggal disini. Apalagi, Tya juga ditinggal di
rumah nenek dengah Anah. Karena dari kecil sudah selalu bersama Tya, nenek
seperti tak bisa jauh dari Tya. Padahal Ahmad ingin sekali mengasuh nenek
semasa hari tuanya.
Seperti biasa
setiap bulan anak-anak nenek selalu berkumpul membahas mengenai warisan mereka.
Pertama-tama mereka menjual rumah nenek dan kakek yang mayoritas dibangun
dengan kayu jati kuno ke kolektor. Setelah itu baru mereka menjual tanah kosong
yang bangunannya sudah dijual terlebih dahulu. Nenek memilih tinggall bersama
Mudi karena Mudi kekeuh tinggal di tanah warisan bagiannya tanpa menjual serta
seluruh tanah milik nenek dan kakek karena ingin mempertahankan peninggalan
orangtuanya.
Waktu demi
waktu, usia nenek yang semakin renta dan perseteruan antara Mudi dan Anah
membuatnya semakin lemah. Pagi itu nenek tiba-tiba pingsan tanpa sebab. Setelah
dibawa ke rumah sakit, dokter memvonisnya terkena paru-paru basah. ICU pun
menjadi satu-satunya pilihan untuk nenek. Setelah dirawat beberapa hari,
kondisi nenek semakin memburuk ditandai dengan tubuh nenek yang mulai memar
terutama bagian wajah. Dokter tidak bisa berusaha banyak. Sampai akhirnya nenek
menghembuskan nafas terakhirnya di ruang ICU itu.....
Category Cerpen, Untuk Seseorang
Powered by Blogger.