RSS Feed

Akhir Hidupku

0

Monday, July 30, 2012 by


Akhirnya setelah perjuangan 20 menit yang melelahkan, lahirlah putri keduaku dengan selamat walaupun ada sedikit kecelakaan kecil yang terjadi. Aku ga enak hati sendiri dengan Mbak Setyo, kakak perempuanku, karena aku mematahkan dipan kasurnya selama proses melahirkan putri keduaku ini dengan tinggi 51cm dan berat 3,4kg.

Sebenarnya ini adalah putriku yang kelima, ada satu kakaknya perempuan kelas 3 SMP sedangkan ketiga anakku yang lain sudah menjadi anak surga atau Wildan, sebutan bagi anak yang lahir keguguran. Ya, aku sangat memperjuangkan kehamilanku yang kelima ini karena aku sangat sekali memberikan Nuril seorang adik. Sudah tiga kali aku mengalami keguguran karena penyakit Bronkhitis yang aku idap dari sejak  menikah dengan suamiku. Penyakit ini membuatku batuk setiap malam sehingga membuat perutku kejang dan akhirnya mempengaruhi janin di dalamnya.

Memang seorang wanita adalah sosok yang paling kuat dibandingkan dengan pria. Dari pengalaman melahirkanku yang kelima ini saja aku bisa tahu bahwa bayi perempuanku ini bisa lahir selamat sedangkan ketiga anakku yang belum sempat dilahirkan diketahui semuanya adalah laki-laki. Jadi terbukti bahwa wanita adalah sosok yang kuat, tak pelak kami menjadi tempat bagi bayi manis untuk menemui dunia nyata karena mengandung dan melahirkan dan segala tugas wanita itu hanya bisa dilakukan oleh seorang sosok yang kuat, yaitu wanita.

Selama hamil ini, aku harus selalu meminum obat penguat janin untuk membuat bayiku bisa bertahan di kandunganku. Aku juga harus banyak ekstra istirahat sehingga pekerjaan rumah tanggaku dilakukan oleh suami dan putri sulungku. Badanku kurus sekali selama hamil ini, aku pun selalu berdoa dan meminta doa kepada orang agar kehamilanku ini bisa sehat.

Menjalani Ibu baru bagi anak baruku ini adalah sebuah kebahagiaan sendiri. Aku memang suka sekali dengan anak-anak bahkan semua keponakan kecilku sangat nurut denganku, walau yang paling rewel sekalipun. Ibu mertuaku yang selalu menangani cucunya yang baru lahir pun bisa sedikit santai karena aku bisa mengurus anakku sendiri dari memandikan, mengenakan baju, menggantikan popok, dll.

Zahra, panggilan untuk anak mungilku ini sudah tumbuh gigi pada usia 6 bulan. Sebuah kebanggaan tersendiri namu juga sekarang dia sudah semakin besar dan mulai merepotkan seperti  kebanyakan anak seusianya. Harus banyak pengawasan, apalagi  Zahra sering jatuh dari tempat tidur walau aku cuma pergi meninggalkan dia untuk ke toilet. Tubuhku juga mulai menjadi gemuk, terutama bagian pipi yang terlihat tembem padahal saat hamil hingga melahirkan tidak begini keadaannya.

Aku pun berkonsultasi dengan bidan, alangkah terkejutnya ketika aku divonis mengidap penyakit jantung. Ya, bagaimana tidak hancur hatiku dengan penyakit baruku ini setelah dulu aku terkena Bronkhitis yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Bayangkan dua organ vitalku bermasalah padahal aku baru saja berbahagia dengan kelahiran putri keduaku.

Mengetahui berita ini membuatku semakin bermasalah saja, ketika salah makan dan kecapekan pasti kumat. Padahal, Zahra sudah mulai bisa berjalan dan selalu minta turun ke tanah. Aku harus mengawasinya tiap waktu.mungkin obat penguat yang diberikan padaku ketika hamil membuat Zahra jadi sangat rewel dan terlalu lincah. Dengan kondisiku yang sakit ini, hal ini sangat memperparah keadaanku, walaupun sebenarnya aku sangat bahagia melihat perkembangan putriku. Ya, seorang Ibu akan selalu menyayangi putrinya apapun yang terjadi. Nuril juga sangat membantuku menjaga Zahra karena memang dia juga suka dengan anak kecil, apalagi adik kandungnya.

Tapi aku juga sangat sedih karena membuat report keluarga dekatku. Suamiku hanya bekerja sebagai seorang supir dengan penghasilan pas-pasan. Pengobatanku ini ditanggung oleh ibu mertua dan iparku yang sangat baik sekali kepada keluargaku dari dulu sejak saya menikah termasuk membantu biaya sekolah Nuril. Padahal, aku terkadang jarang membantu mereka karena kondisiku dari dulu yang sudah terkena Bronkhitis ditambah lagi sekarang penyakit jantung.

Ini mungkin terakhir kali aku berobat ke dokter di Rumah Sakit Umum pada pertengahan Januari. Kondisiku makin parah. Dokter sudah menyuruhku untuk opname, namun suamiku menolaknya karena tak ada biaya. Walaupun keluarga dekatku mau menanggungnya namun aku tidak enak hati sekali dengan mereka yang sudah sangat baik hari sekali padaku. Ya, mereka memang orang yang berkecukupan. Sebelumnya dokter menyuruh saya melakukan tiga uji laboratoium: cek darah, urine, dan jantung. Melihat hasil laboratorium yang cukup 78@#%$%#% dokter sangat menyarankan aku untuk opname, namun apadaya dengan kondisiku yang tak mungkin diopname. Akhirnya dokter memberiku obat generic. Ya, mungkin melihatku tidak mau opname karena masalah biaya, dokter hanya member obat generic yang cukup terjangkau.

Dengan keadaan Zahra yang masih bayi dan sedang rewel-rewelnya, peristiwa di rumah sakit tadi sangat membuatku sedih sekali. Apalagi suamiku sempat mengajakku pulang karena melihat bon kwitansi cek Labortorium pertama (Cek Darah+Urine) sebesar kurang lebih 500ribu. Walaupun ada iparku yang mau membiayai demi kesembuhanku, namun tetap saja saya tidak enak hati. Apalagi, Zahra selalu menangis kalau aku ajak ke ruang periksa dokter karena melihatku berbaring di ruang periksa. Dia harus sedikit menahan lapar karena aku harus menjalani beberapa uji laboratorium.

Awal Juni ini, keponakanku di Jakarta akan melangsungkan wisudanya. Semua keluarga di kampung berencana menghadiri acara itu di Jakarta. Aku tidak bisa ikut kesana karena kondisiku yang semakin memprihatinkan. Aku tinggal di rumah orang tuaku di kampung sebelah karena suamiku harus menyetir mobil keluarga ke Jakarta, sedangkan Nuril harus mempersiapkan ujian sehingga akan sangat merepotkan bagi dia jika aku berada dirumah sendiri.

Gubraaakkk… mungkin itulah bunyi yang terdengar ketika aku ambruk dari kamar mandi di belakang rumah masa kecilku. Kesadaranku hilang walaupun aku masih bisa melihat dan berbicara namun aku tidak bisa mengingat apa yang aku katakan. Pada saat itu aku baru saja mandi sore. Sejak peristiwa itu aku hanya bisa berbaring di kamar, ditemani keponakanku dan putri kecilku. Tak kuasa sekali rasanya tubuh ini untuk bangun, rasanya energiku hanya tersisa untuk bernafas saja. Sampai pagi hari, keadaanku tetap saja begini. Nuril yang baru saja selesai melaksanakan ujian semester langsung dipanggil kesini, suami dan mertuaku yang sedang ada di Jakarta juga diberitahu keluargaku dan mereka langsung pulang kesini, ada kakak iparku yang tidak ikut karena kasihan dengan keponakanku yang besok akan diwisuda. Ya, aku memakluminya karena acara wisuda ini merupakan acara sekali dalam seumur hidup, justru aku menjadi tidak enak hati karena mengacaukan rencana ini.

Hari sudah mulai siang, aku sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi tapi kulihat Nuril ada disebelahku memegang tanganku sambil membaca Al-Quran. Mungkin dia sedang membacakan surat yasin untukku. Kulihat tanganku sudah membiru, ya inikah mungkin yang dinamakan sakaratul maut? Aku hanya bisa pasrah. Dua organ vitalku, jantung dan paru-paru, yang sudah sangat parah kondisinya membuat tubuhku membiru. Nafasku sudah mulai susah, mungkin energy yang hanya tersisa untuk bernafas akan habis. Paru-paruku sudah tak bisa memompa oksigen lagi dan jantungku tak bisa mengalirkan oksigen lagi memompa darah. Kulihat flashback kehidupanku dari lahir, masa kecil, sekolah, menikah, membina rumah tangga, hingga kehamilanku. Memang inilah yang dinamakan sakaratul maut?

Akhirnya pukul 14.15 aku merasakan rasa sakit yang luar biasa, melebihi dari rasa sakit sebelumnya namun tiba-tiba aku merasakan kedamaian luar biasa setelahnya seperti aku telah sembuh dari rasa sakitku. Kulihat tubuhku tergeletak di atas kasur, inikah yang dinamakan kematian? Innaillahi wainna ilaihi rojiun… memang aku berfirasat akan berakhir seperti ini, namun tak kusangka akan datang waktunya secepat ini.


Leave a Reply

Powered by Blogger.