Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri dan Berdaya Saing Internasional
0Saturday, November 5, 2011 by zidniezou
“Tugas berat bangsa Indonesia dalam mengisi
kemerdekaan adalah mengutamakan pelaksanaan nation and character building. Jika
pembangunan karakter tidak berhasil, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa
kuli!” (Ir. Soekarno, dalam kutipan
buku Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang: 2009).
Indonesia
merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari belasan ribu
pulau. Indonesia juga negara maritim terbesar dengan perairan hampir seluas 25%
panjang pantai di dunia
.
Dalam geografis wilayah
tersebut terkandung kekayaan alam yang melimpah. Berbagai kekayaan alam tambang
berada di perut bumi tanah air kita. Belum lagi kekayaan alam hayati berupa
hasil pertanian dan perkebunan seperti teh, kopi, rempah-rempah, serta sumber
daya perairan dan kelautan. Ditambah dengan 100 juta lebih usia produktif dari
230 juta penduduknya adalah modal sumber daya manusia yang potensial sekaligus menjadi pasar yang potensial.
Namun, ternyata sungguh
ironis sekali keadaan tersebut karena dominasi asing justru semakin kuat pada
sektor-sektor strategis seperti keuangan, energi dan sumberdaya mineral, pangan
dan perkebunan, serta telekomunikasi.
Kompas
mencatatnya, per Maret 2011 pihak asing menguasai 50,6 persen dari total aset
perbankan nasional sebesar Rp 3.065 triliun. Pada sektor pertambangan, di tahun
2011 kepemilikan asing di Indonesia sudah sekitar 75 persen. Asing menguasai
kepemilikan hingga lebih dari 70 persen di beberapa industri telekomunikasi
besar. Industri perkebunan seperti kelapa sawit justru banyak yang
dimiliki perusahaan besar asal Amerika Serikat, Malaysia, Singapura. Hal serupa
terjadi pula di sektor pertanian, perikanan, bahkan pariwisata kita banyak yang
dikuasai investor asing. Kedaulatan ekonomi Indonesia sangat rapuh karena
sektor strategis perekonomian dominan tergantung pihak asing. Selain itu, pada
2010, sekitar 75% dari produk yang beredar di Indonesia adalah produk impor
yang sebagian besar berasal dari China. Hal ini mengindikasikan bahwa kita
masih mengandalkan produk dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Diawal
tahun 1960-an, ekonomi bangsa Indonesia tidak jauh berbeda dengan Korsel.
Pada saat itu, pendapatan per kapita negara Korsel dan Indonesia dibawah US 100
dolar. Indonesia dengan pendapatan per kapita sekitar USD 70 dan Korea USD 80
per kapita. Lima puluh tahun kemudian, income per kapita bangsa Korea
Selatan naik menjadi USD 19.000, sementara Indonesia baru menyentuh USD 2.200.
Pendapatan per kapita Korsel naik 235 kali lipat dan Indonesia hanya naik
1/8-nya atau naik 31 kali. Dari fakta ini, seharusnya membuat kita belajar dari
kesuksesan negara lain dalam membangun perekonomiannya, bukan menjadi semakin
terpuruk atau bahkan malu namun membuat kita lebih bersemangat untuk menyalip
ketertinggalan kita untuk menjadi negara yang lebih baik dari. Hal ini belum
terlambat.
Menurut
ekonom Korea Institut for International Economic Policy, Chuk Kyo Kim,
keberhasilan Korea Selatan dapat tidak lepas dari perhatian besar pemerintah
Korsel pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi
agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan. Disamping faktor besar dari
pemerintah, kesuksesan Korsel juga tidak lepas dari pembangunan karakter dan
kebangsaan rakyat Korsel yang tangguh. Tumbuhnya jiwa kewiraswastaan, tenaga
kerja yang sangat terlatih, pengelolaan utang luar negeri yang baik,
pemerintahan yang relatif bersih, makroekonomi yang solid, dan kondisi
sosial-politik yang relatif bebas dari konflik. Jadi, selain “political will”
pemerintah Korsel yang tinggi terhadap pembangunan bangsanya, mentalitas rakyat
Korea sudah terbentuk dengan bangga dan cinta menggunakan produk lokal. Orang
Korea paling benci menggunakan produk dari negara yang pernah menjajahnya yakni
Jepang. Untuk menggunakan produk canggih, secara bertahap dan mandiri, mereka
memproduksi sendiri. Karakter bangsa yang cinta akan produk dalam negeri ini
membuat perusahaan-perusahaan raksasa Korea jaya didalam negeri sekaligus
bertahap jaya di luar negeri.
Jadi, jika kemandirian industri dapat terwujud maka
perekonomian negara pun akan kian membaik yang dapat terlihat dari jumlah
pemasukan untuk negara yang berasal dari sektor industri, ataupun jumlah
pengangguran yang berkurang karena terserap oleh industri tersebut. Bahkan
dengan terciptanya kemandirian
industri, pemerintah dapat mengurangi
subsidi dana APBN untuk sektor tersebut
dan dialihkan untuk sektor yang lainnya.
Jadi, kuncinya adalah mencintai negara dan bangsa Indonesia dengan sepenuh hati
dari budaya, produk nasional, dll. Bermodalkan semangat ini, pergerakan
bangsa kita menuju industri yang maju, mandiri, dan berdaulat terus digulirkan.
Terlebih persaingan global yang berlangsung saat ini memaksa Indonesia harus
bekerja lebih keras dalam mempertahankan visi kemandirian industri nasional
Indonesia pada Tahun 2025.
Character building
juga sangat penting jika kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak,
berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki
peradaban yang unggul dan mulia. Berbagai upaya sosialisasi dan pencerahan
tentang character building terus dilakukan. Bahkan, Kementerian Pendidikan
Nasional tengah menyiapkan kurikulum nasional, yaitu kurikulum pendidikan
budaya dan karakter bangsa. Rencana itu justru semakin menegaskan bahwa nation
and character building benar-benar berada pada titik yang memprihatinkan.
Setelah sekian lama Pancasila tak lagi diajarkan secara masif, bangsa ini
seakan kehilangan pegangan. Bahkan, bangsa Indonesia kian kehilangan karakter
dan jati diri. Namun, hal itu harus dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan. Mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Jadi, perlu ada komitmen
besar baik masyarakat maupun pemerintah menuju bangsa Indonesia yang mandiri.
Sebagaimana bunyi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen: “ (1) Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.” Peran besar
pemerintah dalam pendidikan terutama dalam pengembangan sumber daya serta
investasi yang besar dalam industri teknologi. Inilah yang dulunya dirancang
Pak Habibie dalam membawa Indonesia maju kedepan. Sayang rencana besarnya
kandas ketika krisis 1997 menghantam Indonesia. Namun, semoga rancangan ini masih
bisa direalisasikan di waktu mendatang atau dalam waktu dekat ini.
Category Thought
Powered by Blogger.